Rabu, 25 November 2009

AWAL PERTUMBUHAN KOPERASI INDONESIA

Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.
Jikalau pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada
kegiatan simpan-pinjam maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi
bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan
penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan
kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya.
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih
di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpanpinjam.
Kegiatan R Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf
Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika
ia cuti ke Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara Raiffeisen
(koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi
simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari
cuti melailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah
dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja . Dalam hubungan ini kegiatan simpan pinjam
yang dapat berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung
dan modal untuk itu diambil dari zakat.
Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908
menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian
pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi
yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka tokotoko
koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di
Indonesia yang menyatu dengan kekuatan social dan politik menimbulkan
kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia
Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi
suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam
hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisi
antara lain :
a. Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil;
b. Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda;
c. Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal;
dan di samping itu diperlukan biaya meterai 50 gulden.
Pada akhir Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng
Jombang mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” atau disingkat
(SKN) yang beranggotakan 45 orang. Ketua dan sekaligus sebagai manager
adalah K.H. Hasyim Asy ‘ari. Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri dan Haji
Manshur. Sedangkan bendahara Syeikh Abdul WAhab Tambakberas di
mana branndkas dilengkapi dengan 5 macam kunci yang dipegang oleh 5
anggota. Mereka bertekad, dengan kelahiran koperasi ini unntuk dijadikan
periode “nahdlatuttijar” . Proses permohonan badan hukum direncanakan
akan diajukan setelah antara 2 sampai dengan 3 tahun berdiri.
Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan
Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan
berdiriya koperasi. Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat
dipandang sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di
Indonesia, yang mengundang berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada
tahun 1920 dibentuk suatu ‘Komisi Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H.
Boeke yang diberi tugas neneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk
Bumi Putera untuk berkoperasi.
Hasil dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi
putera berkoperasi dan untuk mendorong keperluan rakyat yang
bersangkutan. Selanjutnya didirikanlah Bank Rakyat ( Volkscredit Wezen ).
Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927
di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang
juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau
menganjurkan berdirinya koperasi. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh
Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana pada
tahun 1929 menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi. Keputusan
kongres koperasi tersebt menyatakan bahwa untuk meningkatkan
kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam
koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930
didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas:
a. memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia
mengenai seluk beluk perdagangan;
b. dalam rangka peraturan koerasi No 91, melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan
penerangannya;
c. memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan
pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang
menyangkut perusahaan-perusahaan;
d. penerangan tentang organisasi perusahaan;
e. menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia
( Raka.1981,h.42)
DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920
ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama.
Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian
dalam berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad
no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915.
Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan
golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu
berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun
1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan Peraturan
Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur
Asing.
Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan
tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia,
terutama di lingkungan warganya. Diharapkan para warga Muhammadiyah
dapat memelopori dan bersama-sama anggota masyarakat yang lain untuk
mendirikan dan mengembangkan koperasi. Berbagai koperasi dibidang
produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain koperasi batik yang
diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris.
Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun
1930 menunjukkan suatu tingkat perkembangan yang terus meningkat.
Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun 1939
jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930
sebanyak 7.848 orang kemudian berkembang menjadi 52.555 orang.
Sedang kegiatannya dari 574 koperasi tersebut diantaranya 423 kopersi
(=77%) adalah koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam
(Djojohadikoesoemo,1940 h.82) sedangkan selebihnya adalah kopersi jenis
konsumsi ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut
diantaranya 19 buah adalah koperasi lumbung.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih
dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan bala tentara Jepang di di
Indonesia menetapkan bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan
kekuasaan hukum serta Undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu
tetap diakui sementara waktu, asal saja tidak bertentangandengan Peraturan
Pemerintah Militer. Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka Peraturan
Perkoperasian tahun 1927 masih tetap berlaku. Akan tetapi berdasarkan
Undang-undang No. 23 dari Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia
mengatur tentang pendirian perkumpulan dan penmyelenggaraan
persidangan. Sebagai akibat daripada peraturan tersebut , maka jikalau
masyarakat ingin mendirikan suatu perkumpulan koperasi harus mendapat izin
Residen (Shuchokan) dengan menjelaskan syarat-syarat sebagai berikut :
a. Maksud perkumpulan atau persidangan, baik sifat maupun aturan-aturannya
b. Tempat dan tanggal perkumpulan didirikan atau persidangan
diadakan
c. Nama orang yang bertangguing jawab, kepengurusan dan anggota-anggotanya
d. Sumpah bahwa perkumpulan atau persidangan yang bersangkutan
itu sekali-kali bukan pergerakan politik.
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka di beberapa daerah
banyak koperasi lama yang harus menghentikan usahanya dan tidak boleh
bekerja lagi sebelum mendapat izin baru dari”Scuchokan”. Undang-undang
ini pada hakekatnya bermaksud mengawasi perkumpulan-perkumpulan dari
segi kepolisian (Team UGM 1984, h. 139 – 140).
Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang
dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran
“Kumiai” (koperasi). Pemerintah pada waktu itu melalui kebijaksanaan dari
atas menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk
melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin
kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya
gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak
Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang
yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil
bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar
menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat
kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan
kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman
Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan
bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.

mekanisme SHU Koperasi

Pengertian dan Cara Menghitung SHU Koperasi

Sisa Hasil Usaha ( SHU ) Koperasi seringkali diartikan keliru oleh pengelola koperasi. SHU Koperasi dianggap sama saja dengan deviden sebuah PT, padahal terminology SHU jelas, bahwa SHU adalah “Sisa” dari Usaha koperasi yang diperoleh setelah kebutuhan anggota terpenuhi.
Dalam Manajemen koperasi Sisa hasil usaha (SHU) memang diartikan sebagai selisih dari seluruh pemasukan atau penerimaan total (total revenue [TR]) dengan biaya-biaya atau biaya total (total cost[TC]) dalam satu tahun buku. Bahkan dalam jika ditinjau pengertian SHU dari aspek legalistik, menurut UU No.25/1992, tentang perkoperasian, Bab IX, pasal 45 adalah sebagai berikut:

1. SHU koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurang dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
2. SHU setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota.
3. besarnya pemupukan modal dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota.
Pengertian diatas harus dipahami bahwa SHU bukan deviden seperti PT tetapi keuntungan usaha yang dibagi sesuai dengan aktifitas ekonomi angoota koperasi, maka besarnya SHU yang diterima oleh setiap anggota akan berbeda, tergantung besarnya partisipasi modal dan transaksi anggota terhadap pembentukan pendapatan koperasi. Artinya, semakin besar transaksi(usaha dan modal) anggota dengan koperasinya, maka semakin besar SHU yang akan diterima. Hal ini berbeda dengan perusahaan swasta, dimana dividen yang diperoleh pemilik saham adalah proporsional, sesuai besarnya modal yang dimiliki. Hal ini merupakan salah satu pembeda koperasi dengan badan usaha lainnya.
Penghitungan SHU bagian anggota dapat dilakukan apabila beberapa informasi dasar diketahui sebagai berikut:
1. SHU total kopersi pada satu tahun buku
2. bagian (persentase) SHU anggota
3. total simpanan seluruh anggota
4. total seluruh transaksi usaha ( volume usaha atau omzet) yang bersumber dari anggota
5. jumlah simpanan per anggota
6. omzet atau volume usaha per anggota
7. bagian (persentase) SHU untuk simpanan anggota
8. bagian (persentase) SHU untuk transaksi usaha anggota

Mekanisme Pembagian SHU

Prinsip Dasar:
1. SHU diberikan atas partisipasi anggota terhadap kegiatan koperasi
2. SHU dibagi secara proporsional atas partisipasi anggota tersebut.

Mekanisme Pembagian SHU:
1. SHU yang sudah diperoleh dibagi berdasarkan ketentuan yang ada di AD/ART
2. SHU untuk anggota dibagi berdasarkan besarnya transaksi, sehingga semakin besar transaksi seseorang anggota, dia akan semakin besar mendapatkan SHU, demikian sebaliknya.
3. Untuk memudahkan proporsi transaksi, maka diperlukan konversi nilai transaksi kedalam point pembagi SHU
4. Besarnya nilai tiap point SHU diperoleh dari (=) Nilai total SHU yang dibagi untuk anggota, dibagi (/) dengan total point yang dikeluarkan dari semua transaksi.
5. Nilai SHU tiap anggota adalah (=) jumlah point yang dimiliki seseorang anggota, dikali (x) nilai tiap point SHU.
6. Konversi nilai transaksi dengan jumlah point sangat tergantung dengan proporsi margin (tingkat keuntungan dari transaksi tersebut). Semakin rigid (detail) semakin adil, namun akan rumit administrasinya, kecuali sudah computerized. Maka, Rapat Anggota dapat memutuskan diawal dengan klasifikasi nilai dan atau jenis transaksi barang/jasa pada beberapa klasifikasi saja.

Contoh Klasifikasi Point dan Pembagian SHU:
KSU Adil Makmur memiliki usaha Minimarket yang menjual berbagai barang kebutuhan anggota. Apabila barang yang dijual diklasifikasikan menjadi 4 sebagai berikut:
1. Kelompok barang A= barang yang margin keuntungannya rendah (misalnya dibawah 20%) dan harga barangnya relative rendah (misalnya per unit kurang dari Rp 20 ribu).
2. Kelompok barang B= barang yang margin keuntungannya rendah (misalnya dibawah 20%) dan harga barangnya relative tinggi (misalnya per unit lebih dari Rp 20 ribu).
3. Kelompok barang C= barang yang margin keuntungannya tinggi/sedang (misalnya diatas 20%) dan harga barangnya relative tinggi (misalnya per unit lebih dari Rp 20 ribu).
4. Kelompok barang D= barang yang margin keuntungannya tinggi/sedang (misalnya diatas 20%) dan harga barangnya relative rendah (misalnya per unit kurang dari Rp 20 ribu).

Ingat: besar kecilnya nilai margin dan tinggi rendahnya nilai barang disesuaikan dengan kondisi tiap daerah dimana koperasi tersebut berada. Semakin sedikit klasifikasi semakin memudahkan, namun semakin menjauh dari keadilan transaksi

Rapat anggota dapat memutuskan klasifikasi point per transaksi, misalnya:
1. Transaksi pada kelompok barang A, senilai Rp 10.000 mendapat 1 point dan berlaku kelipatannya.
2. Transaksi pada kelompok barang B, senilai Rp 20.000 mendapat 1 point dan berlaku kelipatannya.
3. Transaksi pada kelompok barang C, senilai Rp 15.000 mendapat 1 point dan berlaku kelipatannya.
4. Transaksi pada kelompok barang D, senilai Rp 5.000 mendapat 1 point dan berlaku kelipatannya.

Ingat: besar kecilnya klasifikasi nilai transaksi disesuaikan dengan kemampuan ekonomi secara umum dari anggota. Semakin besar nominal semakin memudahkan, namun semakin menjauh dari keadilan transaksi.

Kamis, 22 Oktober 2009

Tami

Ini adalah penulisan pertama saya