Rabu, 04 Januari 2012

Menyoal Etika Bisnis Freeport

Menyoal Etika Bisnis Freeport

BAB I

LATAR BELAKANG

1.1 latar belakang masalah

PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar.Mining In­terna­tio­nal, sebuah majalah per­da­­ga­ngan, menyebut tambang emas Free­­port sebagai yang ter­be­­sar di du­­­nia.Pada tahun 2003 Freeport Indonesia mengaku bahwa mereka telah membayar TNI untuk mengusir para penduduk setempat dari wilayah mereka. Menurut laporan New York Times pada Desember 2005, jumlah yang telah dibayarkan antara tahun 1998 dan 2004 mencapai hampir 20 juta dolar AS. Freeport Indonesia sering dikabarkan telah melakukan penganiayaan terhadap para penduduk setempat. Pada Tahun 2011 seorang buruh bernama Petrus Ajam Seba seorang buruh di PT. Freeport terbunuh. Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R Moffett, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini, dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.Surat-surat dan dokumen-dokumen lain yang diberikan kepada New York Times oleh para pejabat pemerintah menunjukkan, Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan perusahaan ini sejak tahun 1997, Freeport melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan mereka dapat menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama. Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.Sebuah studi bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix, perusahaan konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok untuk kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. New York Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak. Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga, dengan emas sebagai produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia memperketat aturan pada tahun 1990-an.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KASUS PT FREEPORT

Ada sinyal kuat bahwa memang telah terjadi distorsi etika dan pelanggaran kemanusiaan yang hebat di Papua. Martabat manusia yang seharusnya dijunjung tinggi, peradaban, kebudayaan, sampai mata rantai penghidupan jelas-jelas dilanggar. Ketika sistematika kehidupan yang sangat drastis tersebut sudah tidak bisa lagi ditahan, ledakan kemarahan komunitas itu terjadi (Hutchins, M.J., et.al., 2007).
Itu adalah fakta keteledoran pemerintah yang sangat berat karena selama ini bersikap underestimate kepada rakyat Papua. Gagasan mendapatkan kesejahteraan dengan intensifikasi industrialisasi nyata-nyata gagal.
Ironisnya, Freeport sebagai representasi hegemoni peradaban industrialisasi modern yang terkenal dengan implementasi konsep menghargai heterogenitas dan diversitas (Velasquez, M.G., 2006), rupa-rupanya, hanya jargon belaka. Dua kali pekerja Freeport melakukan aksi mogok kerja sejak Juli untuk menuntut hak normatifnya soal diskriminasi gaji, namun dua kali pula harus beradu otot.
Mogoknya hampir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia (FI) tersebut disebabkan perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada operasional Freeport di seluruh dunia. Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5–USD 3. Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15–USD 35 per jam. Sejauh ini, perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak tuntutan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya.
Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.
Ketika kaum separatis yang sudah teridentifikasi, seperti kelompok Papua Barat, melihat kisruh Freeport, momen itu adalah entry point paling tepat untuk mengirimkan pesan. Kekacauan makin menjadi karena masih banyak kelompok klandestin yang belum bisa diidentifikasi dan itu malah memperburuk situasi.
Tewasnya tiga pekerja Freeport oleh penembak tidak dikenal (14/10/11) adalah bukti bahwa ada pihak yang sedang bermain di air keruh. Teror penembakan masih berlangsung. Lalu, pada Jumat (21/10/11) tiga pekerja lain juga tewas oleh penembak tidak dikenal di km 38 dan km 39. Aloysius Margono, paman politikus Roy Suryo, yang berasal dari Sleman, tewas bersama Yunus dan Eto pada hari yang sama.

Ironi MNC

Melihat portofolio PT FI yang merupakan business unit dari Freeport-McMoran yang berpusat di Phoenix, Arizona, AS, itu, sebetulnya tidak ada alasan timbulnya dispute pekerja dan manajemen hanya karena persoalan normatif. Berdasar rilis resmi Freeport-McMoran, AS, keuntungan bersih triwulan pertama tahun ini korporasi dengan kode bursa FCX tersebut naik 67 persen jika dibandingkan dengan raihan dari periode sama tahun lalu yang sebesar USD 897 juta.
Produksi emas yang tercatat mencapai 18 ton per tahun. Namun, kandungan emas yang terikut ketika menambang tembaga diukur oleh Gold Fields Mineral Services (GFMS, 2011) dapat menghasilkan 100 ton lebih. Kini harga emas melejit sampai USD 1.637 per troy ons. Dengan demikian, pertambahan revenue PT FI paling tidak USD 1,6 miliar, belum termasuk hasil tambang tembaga dan lainnya.
Bisnis Freeport memang tidak hanya berada di Indonesia. Namun, deposit tambang Indonesia tercatat terbesar dari seluruh wilayah eksplorasi Freeport di seluruh dunia. Ada empat basis operasi Freeport, yakni Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika, dan Indonesia. Volume deposit tambang di ladang Grasberg, Papua, saat ini 2,7 miliar metrik ton dan ditambang untuk menghasilkan bijih tembaga 240 ribu ton per hari. Kondisi tersebut memberikan garansi yang baik untuk Freeport di mata pemegang sahamnya dan membuat harga sahamnya selalu diburu.
Sebagai perusahaan berlabel MNC (multinational company) yang otomatis berkelas dunia, apalagi umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari aset perusahaan. Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu keharusan. Sebab, di situlah terjadi hubungan mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar produksi semakin baik, sementara pekerja membutuhkan komitmen manajemen dalam hal pemberian gaji yang layak.
Tidak dapat disangkal, peran pekerja dari Indonesia terbukti memberikan dampak positif terhadap keseluruhan kinerja dan image Freeport. Jika melihat hal tersebut, sungguh manajemen PT FI dan BOD Freeport telah berlaku diskriminatif terhadap tenaga kerja Indonesia. Itu tidak boleh dibiarkan.
Kini goodwill manajemen PT FI diuji. Itu juga menjadi ujian komitmen BOD Freeport-McMoran secara keseluruhan. Apakah masih menjunjung tinggi etika bisnis internasional atau hanya berprinsip seperti perusahaan kelas teri yang mengais benefit dari koin eceran gaji pekerja yang remeh-temeh.

Langgar Etika

Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia terbukti tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif yang sangat mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI, privilege berlebihan, ternyata sia-sia.
Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PT FI diperpanjang kendati bertentangan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Alasan yang dikemukakan hanya klasik, untuk menambah kocek negara. Padahal, tidak terbukti secara signifikan sumbangan PT FI benar-benar untuk negara. Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya, sumbangan Freeport untuk negara Amerika, bukan Indonesia.
Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PT FI berizin penambangan tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan konon uranium. Bahan-bahan itu dibawa langsung ke luar negeri dan tidak mengalami pengolahan untuk meningkatkan value di Indonesia. Ironisnya, PT FI bahkan tidak listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi Freeport-McMoran sebagai induknya.
Keuntungan berlipat justru didapatkan oleh PT FI dengan hanya sedikit memberikan pajak PNBP kepada Indonesia atau sekadar PPh badan dan pekerja lokal serta beberapa tenaga kerja asing (TKA). Optimis penulis, karena PT FI memiliki pesawat dan lapangan terbang sendiri, jumlah pasti TKA itu tidak akan bisa diketahui oleh pihak imigrasi.
Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006).
Itu tentu saja ironi kepada pemerintah negeri ini karena memberikan kebijakan keliru dengan memilih model industrialisasi membabi buta. Di sisi lain, patut dipertanyakan komitmen PT FI serta goodwill Freeport-McMoran secara keseluruhan terhadap alam, masyarakat Papua, dan kalangan pekerja Indonesia. Tampak baik dengan berpura-pura menjadi Sinterklas, padahal hak dasar pekerja sendiri diabaikan

BAB III

KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN

Dari uraraian di atas telah terbukti bahwa PT. Freeport telah melakukan pelanggaran terhadap Martabat manusia yang seharusnya dijunjung tinggi, peradaban, kebudayaan, sampai mata rantai penghidupan jelas-jelas dilanggar oleh PT. Freeport, karena sudah dua kali seluruh karyawan melakukan mogok kerja.

3.2 SARAN

Jadi pemerintah harus lebih tegas lagi dalam mengatur peraturan perundang – undangan tentang mendirikan sebuah pabrik contohnya PT Freeport, agar tidak terjadi lagi tentang distorsi etika dan pelanggaran kemanusiaan di Indonesia dan khususnya di daerah Papua.